Informasi Biografi: Biografi Wiranto


Biografi Wiranto

Nama:Wiranto

Lahir: Yogyakarta, 4 April 1947

Pangkat:Jenderal TNI 1997

Karir Militer: Pangdam Jaya 1994-1996

Panglima Kostrad 1996-1997

Kepala Staf Angkatan Darat 1997-1998

Panglima ABRI 1998-1999

Menteri

Menhankam/Pangab 1998 (Kabinet Pembangunan VII)

Menhamkan/Pangab/Pang TMI 1998-1999 (Kabinet Reformasi Pembangunan-Habibie)

Menko Polkam, 1999-2000 (Kabinet Persatuan Nasional-Gus Dur)


Keadaan politik dan keamanan di negeri ini sangat panas, menjelang dan sesudah Presiden Soeharto berhenti dari jabatannya. Setiap saat bisa saja meledak menjadi kerusuhan massal secara meluas di seluruh wilayah. Pada saat itu Jenderal Wiranto memegang jabatan penting sebagai Menhankam/Pangab. Ia tidak pernah kelihatan panik dalam upaya mengatasi semua masalah. Dengan tenang dan sabar ia terus mengajak dialog dengan siapa saja, khususnya dengan para civitas academica di perguruan tinggi agar tetap menjaga ketertiban dan keamanan.

Begitu pula pada saat masyarakat Aceh merasa kehormatannya tercemar dengan selalu dijaga oleh Pemerintah Pusat dengan operasi militer yang tak kunjung usai, maka atas permintaan rakyat Aceh pada Agustus 1998 Wiranto datang ke Aceh untuk menarik seluruh pasukan yang bukan organik di Aceh, atau lebih dikenal dengan pencabutan DOM (Daerah Operasi Militer).

Ketika di Sambas terjadi perkelahian antar saudara, demikian pula ketika Maluku mengalami hal yang sama, ia selalu datang ke wilayah konflik tersebut untuk berusaha mendamaikan pihak-pihak yang bertikai. Bahkan untuk Timor Timur yang telah bertikai selama 23 tahun, ia berhasil mengajak mereka melakukan perdamaian pada 21 Apri11999.

Semua itu dilakukannya karena kendatipun dia seorang petinggi militer yang dikenal sangal keras dalam bersikap, berdisiplin tinggi, dan menjunjung tinggi aturan hukum, namun sangat mencintai perdamaian. Hal itu dilakukan karena sebagai seorang militer yang berpengalaman, ia sangat memahami bahwa tindakan kekerasan tidak akan pernah menyelesaikan permasalahan secara tuntas, bahkan akan menimbulkan luka-luka yang sulit untuk disembuhkan.

Tiga Presiden
Dalam setiap jenjang karirnya, ia selalu berupaya menimba pengalaman sebanyak-banyaknya. Ia pun menimba pengalaman dari tiga presiden. Dengan Presiden Soeharto, ia menjalin hubungan sebagai ajudan Presiden selama hampir empat tahun dan sebagai Kasad serta Menhankam /Pangab selama tiga bulan.

Jabatan inilah yang secara politis sering dijadikan dalih untuk terus memojokkannya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari rezim Orde Baru, sebagai putera mahkota yang sangat dekat dengan Pak Harto, kental militerismenya dan sebagainya.

Menghadapi tuduhan itu, ia tidak pernah mengelak dengan cara-cara pengecut. Ia justru berpendapat, bahwa Orde Lama, Orde Baru atau orde pasca Orde Baru hanyalah pemberian nama dari penggalan sejarah republik ini. “Tetapi, yang pasti kita semua tidak boleh lari dari kenyataan bahwa kita ada di dalamnya dengan memerankan bagian kita masing-masing. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya kita pasti mendapat manfaat dari setiap orde itu,” katanya dalam buku “Mengenal Wiranto Calon Presiden RI 2004-2009” yang diterbitkan IDe Indonesia (2003).

Oleh karenanya, ia heran dan menyesalkan sebagian dari elit politik yang lari ke sana ke mari hanya karena takut dicap sebagai bagian dari suatu orde tertentu. Baginya, selama mendampingi Presiden Soeharto justru memberikan manfaat dapat memahami secara sungguh-sungguh pikiran, keinginan, dan tindakan seorang presiden yang telah berpengalaman memimpin satu negeri selama 30 tahun lebih. Ibaratnya masuk dalam sebuah kursus tentang bagaimana mengatur suatu negara lengkap mulai teori hingga mengikuti prakteknya.

Begitu pula selama dua puluh dua bulan bersama Presiden B.J. Habibie, ia menduduki posisi sebagai Menhankam/Pangab. Saat itu, dengan basis seorang teknokrat, Presiden B.J. Habibie melakukan pembaharuan-pembaharuan yang diharapkan memenuhi tuntutan demokratisasi. Sebagai Menhankam/Pangab dan menjadi bagian dari satu tim yang meletakkan dasar-dasar reformasi secara konseptual dan konstitusional, ia mempunyai posisi yang sangat penting dari proses reformasi itu.

Sidang Istimewa 1999 dapat berlangsung dan sukses berkat pengamanan TNI/Polri. Begitu pula Pemilu 1999 terselenggara dengan baik berkat netralitas TNI/Polri. Sidang Umum MPR 1999 dapat berjalan dengan baik antara lain berkat kesediaan Wiranto untuk mundur dari rivalitas memperebutkan jabatan presiden dan wakil presiden.

Dalam Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, ia juga ikut serta menyusun kabinet dan selanjutnya dipercaya menjadi Menko Polkam. Pada periode ini memang seringkali ia berbeda pendapat dengan presiden. Bukan untuk membantah keinginan presiden, melainkan lebih tepat sebagai upaya memberi saran yang baik sehubungan pengalamannya selama mendampingi dua presiden sebelumnya.

Sering terjadinya perbedaan pendapat ini menyebabkan Wiranto tidak dapat bertahan lama pada pemerintahan Gus Dur. Ia dinonaktifkan dengan alasan yang tidak jelas. Logikanya kalau dicopot berarti ada kesalahan dan kalau ada kesalahan berarti harus diberitahukan dan dijelaskan ke publik. Namun, pada kenyataannya tidak pernah ada penjelasan sama sekali. Memang serba tidak jelas, seperti ruwetnya Gus Dur naik dan turun dari kursi kepresidenan.

Ketika itu, akhir tahun 2000, sambil berkeliling dunia Gus Dur minta agar Wiranto mundur saja dari jabatan sebagai Menko Polkam. Apa alasannya tidak jelas. Pada saat Gus Dur memerintahkan berturut-turut dua pejabat negara Bondan Gunawan dan Juwono Soedarsono untuk memintanya mundur, juga tidak diperoleh alasan yang jelas.

Awal Januari 2001, pada pukul 10.00 sampai dengan 12.00 WIB, sepulang dari luar negeri Presiden Abdurrahman Wahid mengadakan pertemuan tertutup dengan Wakil Presiden Megawati, Jaksa Agung Marzuki Darusman, dan Jenderal Wiranto di Istana Merdeka. Ketika itu, keputusan yang diambil, Jenderal Wiranto tidak perlu mundur.

Namun, tiga belas jam kemudian, sekitar pukul 23.00 WIB, secara sepihak Gus Dur menyatakan Wiranto nonaktif dari Menko Polkam. Suatau tindakan Presiden yang benar-benar aneh, tapi nyata. Hal seperti itu ternyata dapat terjadi pada pemerintahan yang katanya demokratis.

Beberapa bulan kemudian Wiranto dengan pertimbangan yang matang, memastikan bahwa pada posisi nonaktif sebagai Menko Polkam jelas akan mengganggu kinerja Kabinet. Dalam konteks pengabdian kepada bangsa dan negara, jabatan nonaktif itu tak ada artinya lagi, bagaikan slogan kosong, hanya atribut formal yang tak bernilai apa- apa bagi seseorang yang memandang jabatan sebagai wahana pengabdian. Atas dasar pertimbangan itulah Jenderal Wiranto resmi minta berhenti dari Menko Polkam.

Walaupun hanya tiga bulan dijalani bersama Gus Dur, namun sudah cukup baginya untuk lebih meyakini bahwa untuk mengatur negara sebesar Indonesia ini tidaklah mungkin berhasil tanpa kepemimpinan yang kuat, strategi yang jitu, program yang jelas serta pelaksanaan yang konsisten.

Dari pengalamannya mendampingi tiga Presiden RI, ia memetik pelajaran berharga bahwa menjadi pemimpin itu mudah, namun untuk menjadi pemimpin yang berhasil tidak semua orang dapat melakukannya. Diperlukan banyak kelebihan untuk menjadi pemimpin yang berhasil yang berarti mampu mengaktualisasikan visi menjadi kenyataan.

Ia tidak hanya belajar dari keberhasilan ketiga presiden yang didampinginya, tetapi lebih lagi belajar dari kegagalan mereka. Menurutnya, kegagalan itu sebenarnya hanya ada dua penyebabnya. Pertama, pemimpin yang mampu berpikir tetapi tak pernah mampu melaksanakannya. Dan, kedua, pemimpin yang terus melaksanakan niatnya namun tanpa berpikir. Sementara yang kita butuhkan adalah seorang pemimpin yang mampu berpikir sekaligus mahir dalam melaksanakannya.

Untuk bisa berpikir, dibutuhkan kualitas intelektual yang memadai agar dapat memahami permasalahan. Sedangkan dalam pelaksanaan pengamalan visinya diperlukan pengalaman memimpin yang cukup, terutama pada tingkat negara. Tanpa itu seorang pemimpin hanya akan menjadi sumber permasalahan di negeri sendiri.

Tak heran bila Prof. Dr. Taufik Abdullah, dalam ‘Orang Berkata Tentang Wiranto, 2001’ menyatakan rasa simpatiknya pada Wiranto. Menurut sejarawan senior LlPI ini, Wiranto memiliki kemampuan artikulasi yang tinggi dan bisa mengkategorikan masalah secara tuntas dan tepat.

Dari semua pengalamannya itu terlihat jelas bahwa Wiranto sangat memahami tuntutan reformasi, ikut mengawal berkembangnya reformasi, dan ikut meletakkan dasar-dasar reformasi. Dan kini ikut menyaksikan tatkala reformasi mulai kehilangan arah dan menyimpang dari tujuannya yang mendorongnya untuk mencalonkan diri menjabat Presiden 2004-2009.

Ia merasa yakin akan mampu mewujudkan reformasi sesuai dengan tujuannya semula. Keyakinan ini tidaklah berlebihan bila mencermati pengalaman dan track record-nya selama ini. Dari pendekatan kepemimpinan (presiden), ia telah menyerap kepemimpinan dari tiga presiden dengan segala kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Dari pendekatan manajemen krisis, ia telah melakukan langkah-langkah nyata dan berhasil membawa bangsa ini melewati masa-masa krisis yang sangat berbahaya bagi eksistensi negara.

Merakyat
Sebagai seorang yang dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga bersahaja, Wiranto tak pernah melupakan bahwa ia berasal dari rakyat, bersama rakyat, dan kembali untuk rakyat. Terbukti dalam setiap poisisi yang digumulinya ia selalu berupaya dekat dengan rakyat.

Apalagi setelah ia benar-benar kembali sebagai masyarakat biasa dalam beberapa tahun terakhir ini, ia banyak mengunjungi berbagai daerah, berbicara dan bergaul dengan rakyat setempat, merasakan apa yang mereka rasakan dan menampung apa yang mereka harapkan, menyerap aspirasi rakyat. Menurutnya, di tengah masyarakat itu ada suatu kerinduan terhadap suasana yang pernah mereka rasakan, di mana suasana itu aman, tenteram, dan membahagiakan sehingga orang tidak terancam kehidupannya.

Di tengah masyarakat itu ia menemukan suatu istilah bahwa masyarakat butuh KTA. KTA bukan kartu anggota, melainkan Kenyang, Tenang dan Aman. Sutau kebutuhan dan permintaan yang sangat sederhana yang sampai saat ini belum dapat diwujudkan.

Kedekatannya dengan rakyat, antara lain terlihat dari penobatannya sebagai Ketua Dewan Pembina Perhimpunan Pengusaha Warung regal (Warteg) se-Jabotabek dan Pantura. Penobatan ini dilakukan berdasar hasil pengamatan para pengusaha Warteg. Bahwa Wiranto paling sering dijumpai makan di Warteg menyatu dengan masyarakat bawah lainnya.

Beberapa waktu lalu, mantan Pangab ini terlihat tidak canggung bekumpul bersama rakyat dan pengusaha Warteg di Gunung Putri. Ia dengan santainya berjoged di panggung sambil melantunkan lagu dangdut berjudul Jatuh Bangun. Tampaknya, di situ ia sungguh menemukan kembali ‘habitatnya’ yang oleh alasan protekoler dan lain sebagainya selama ini agak berjarak pada saat dia masih aktif sebagai pejabat.

Keakrabannya dengan segala lapisan masyarakat juga didukung beberapa kelebihannya, di antaranya penguasaannya terhadap kesenian dan terutama seni olah vokal. Dengan kemampuannya yang lumayan itulah maka dengan mudah dan cepat ia mampu berbaur dan tidak canggung berada di antara para seniman, selebriti, pejabat, pengusaha hingga masyarakat kecil.

Kegemarannya itu jualah yang memberi kesempatan kepadanya dapat mengumpulkan dana untuk disumbangkan kepada para pengungsi akibat kerusuhan dengan cara menjual album perdananya yang diberi judul Untukmu Indonesiaku.

Selain itu, ia juga tokoh yang menyatu dengan kalangan olahraga. Selain gemar berolahraga, ia memang terjun mengurusi beberapa bidang olahraga. Di bidang ini, bahkan ia dijuluki sebagai manusia bertangan dingin.

Beberapa jenis olah raga yang ditanganinya selalu saja maju dan meraih prestasi yang dapat dibanggakan. Pada saat memimpin olahraga Taekwondo maupun sebagai Ketua Umum PB FORKI (Federasi Karatedo Indonesia), prestasi Indonesia seakan tak terbendung di kawasan ASEAN. Pernah KONI Pusat menargetkan 7 dari 20 medali yang diperebutkan, tak tanggung-tanggung FORKI mempersembahkan 14 medali emas untuk Indonesia.

Begitu pula sebagai Ketua Umum PB GABSI (Gabungan Bridge Seluruh Indonesia), jenis olahraga otak yang tak begitu dipahaminya pada saat pertama menjabat, namun dengan kegigihannya pasukan Bridge Indonesia dibawanya berjuang selama 8 tahun dan akhirnya menjadi juara dunia pada tahun 2000 di Swiss. Tim terkuat dunia AS, Perancis Itali, Polandia, Belanda, China, satu persatu dibabat oleh tim yang dibinanya.

"Saya buktikan, kalau kita mau berjuang dengan sungguh-sungguh, kita bisa lebih cerdas dan unggul dari bangsa barat yang seakan tak terkalahkan," ujar peraih predikat sebagai Pembina Olahraga Terbaik, baik dari Menteri Pemuda dan Olahraga maupun dari KONI Pusat ketika itu.

Kiatnya, sama seperti setiap ia dipercayakan memegang jabatan tertentu, adalah keikhlasan, pengabdian, dan pengorbanan. “Jangan sekali-kali untuk cari makan atau digunakan sebagai alat politik!" ujarnya.

Kini dia sudah siap kembali berjuang untuk negerinya pasti bukan karena mengejar jabatan, tetapi semata-mata untuk menyelamatkan bangsanya. Seperti yang sering diucapkannya, "Bangsa ini telah banyak kehilangan waktu, tenaga, dan pikiran hanya untuk bertengkar satu dengan lainnya. Yang kita dapatkan bukan keamanan, keadilan, dan kesejahteraan, namun justru suasana yang penuh dengan disharmoni, disorientasi, dan disintegrasi di antara kita. Maka seharusnya semua anak bangsa merasa terpanggil untuk berpikir dan bertindak dalam satu sinergi yang kuat demi penyelamatan bangsanya."

Dalam buku Mengenal Wiranto, ditegaskan bahwa dengan kembalinya ke gelanggang politik, Wiranto pasti sudah memperhitungkan akan ada berbagai upaya untuk mencegat, menghantam, menfitnah, dan berbagai upaya lainnya. Semua itu kelihatannya tidak menyurutkan niatnya untuk ikut melanjutkan darma baktinya. Dengan pengalamannya di medan tempur, memimpin ABRI pada saat yang sulit, dan mengatasi berbagai permasalahan bangsa selama mendampingi tiga Presiden, Wiranto telah membangun dirinya menjadi sosok pemimpin yang lebih kuat dan matang.

"Kalau saya mendapat kepercayaan memimpin negeri ini, saya hanya minta satu periode saja, banyak generasi muda yang lebih cakap yang akan menggantikan nanti." Itulah janjinya yang sekaligus menunjukkan sekali lagi bahwa jabatan bukan tujuan utamanya.

Akhirnya, ia berkata semua itu terpulang kepada masyarakat. Biarlah masyarakat memilih pemimpinnya secara bebas sesuai dengan kebutuhan dan hati nuraninya.

Sumber: tokohindonesia.com

0 komentar:

Posting Komentar

My Favourite Posts

Archives